Beranda | Artikel
Hukum Berobat dalam Tinjauan Syariat (Bag. 2)
Kamis, 18 April 2019

Baca pembahasan sebelumnya Hukum Berobat dalam Tinjauan Syariat (Bag. 1)

Berobat Merupakan Bagian dari Tawakkal

Seseorang kadang beralasan ketika tidak mau berobat dengan mengatakan,”Tawakkal saja kepada Allah, Dzat Yang memberi kesembuhan.” Sebenarnya tidak ada yang salah pada kalimat ini, namun yang kurang tepat adalah pemahaman orang tersebut terhadap hakikat dari tawakkal itu sendiri. Seolah-olah kalau kita sakit kemudian berobat, itu tidak termasuk bertawakkal kepada Allah Ta’ala.

Oleh karena itu kita perlu meninjau kembali, apa yang dimaksud dengan tawakkal? Tawakkal adalah bersandar kepada Allah Ta’ala untuk meraih sesuatu yang diinginkan dan untuk menolak sesuatu yang dibenci disertai dengan melakukan sebab-sebab yang diizinkan di dalamnya. Sehingga di dalam tawakkal harus terpenuhi dua hal.

Pertama, bersandar kepada Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya. Ke dua, melakukan sebab-sebab (usaha atau sarana) yang diizinkan oleh syari’at. Barangsiapa yang lebih bersandar kepada sebab (semata-mata bersandar kepada usaha yang dia tempuh), maka kuranglah tawakkalnya kepada Allah Ta’ala. Selain itu juga berarti mencela kekuasaan Allah Ta’ala. Adapun orang yang bersandar kepada Allah Ta’ala saja tanpa melakukan usaha, maka hal ini merupakan celaan terhadap hikmah (kebijaksanaan) Allah Ta’ala. Karena Allah Ta’ala menjadikan sebab untuk segala sesuatu. Allah adalah Dzat Yang Maha bijaksana. Allah Ta’ala mengaitkan sebab dengan akibatnya (musabbab-nya). Hal ini sebagaimana orang yang bersandar kepada Allah untuk memiliki anak, namun dia tidak mau menikah. (Lihat Al-Qaulul Mufiid, 2: 28)

Baca Juga: Manfaat Kesehatan dari Jimak yang Halal

Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa berobat tidak bertentangan dengan tawakkal. Bahkan hakikat tauhid tidaklah sempurna kecuali dengan melakukan sebab-sebab yang dikaitkan oleh Allah dengan musabbab-nya, baik menurut ketentuan takdir-Nya maupun syari’at-Nya. Menolak hukum sebab-akibat berarti melecehkan sikap tawakkal itu sendiri. Karena hakikat tawakkal adalah bersandarnya hati kepada Allah Ta’ala untuk meraih hal-hal yang bermanfaat dan menolak hal-hal yang membahayakan bagi seorang hamba dalam urusan dunia dan akhiratnya. Namun, penyandaran hati itu harus disertai dengan melakukan usaha. Bila tidak, maka berarti menentang kebijaksanaan dan syari’at Allah Ta’ala. (Lihat Zaadul Ma’aad, 4: 11)

Meskipun demikian, di antara para ulama terdapat perselisihan pendapat tentang manakah yang lebih utama bagi seseorang yang sedang sakit, apakah berobat atau meninggalkan berobat dalam rangka mewujudkan sikap tawakkal kepada Allah?

Dalam permasalahan ini ada dua pendapat yang terkenal di antara para ulama. Yang tampak (baca: dzahir) dari pendapat Imam Ahmad rahimahullah adalah bahwa bertawakkal (yaitu dengan meninggalkan berobat, pen.) itu lebih utama bagi orang yang mampu. Pendapat beliau ini didasarkan pada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menceritakan bahwa di antara umat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ada tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هُمُ الَّذِينَ لَا يَسْتَرْقُونَ، وَلَا يَتَطَيَّرُونَ، وَلَا يَكْتَوُونَ، وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

”Mereka adalah orang-orang yang tidak melakukan tathayyur [1], tidak meminta agar diruqyah, dan tidak meminta di-kay [2]. Dan hanya kepada Rabb-nya mereka bertawakkal.” (HR. Muslim no. 218)

Baca Juga: Tips Menjaga Kesehatan Di Musim Hujan

Adapun ulama yang mengatakan bahwa berobat itu lebih utama, mereka rahimahullah mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berobat ketika sakit. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melakukan sesuatu kecuali itulah perkara yang lebih utama. Adapun maksud hadits di atas adalah berobat dengan ruqyah yang makruh, yaitu ruqyah yang dikhawatirkan mengandung unsur kesyirikan. Hal ini bisa dilihat dari penyebutan ruqyah tersebut bersama dengan penyebutan pengobatan dengan metode kay dan tathayyur. Padahal hukum keduanya adalah makruh atau bahkan haram. (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam, 2: 500-501)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin juga menjelaskan beberapa sebab maksud hadits di atas, salah satunya karena ketika seseorang meminta orang lain untuk meruqyah dirinya, terdapat unsur ketergantungan hati kepada selain Allah Ta’ala. Sehingga dirinya tidak bergantung kepada Allah Ta’ala, dan justru bergantung kepada manusia yang meruqyah dirinya atau kepada ruqyah itu sendiri. (Lihat Al-Qaulul Mufiid, 1: 102-103)

Kondisi yang sama bisa jadi kita dapatkan pada orang yang berobat. Yaitu, dia lebih bergantung kepada obat, dokter, atau tabib itu sendiri, dan tidak bergantung kepada Allah Ta’ala. Padahal, ketika sedang berusaha, seseorang tidak boleh bersandar kepada usahanya, namun hatinya tetap bergantung kepada Allah Ta’ala. Mungkin hal inilah yang menjadi landasan pendapat Imam Ahmad rahimahullah ketika mengatakan bahwa meninggalkan berobat itu lebih utama. (Lihat Al-Qaulus Sadiid Syarh Kitab Tauhiid, 1: 46)

Baca Juga: Setiap Penyakit Ada Obat, Bagaimana dengan AIDS/HIV?

Kesimpulannya, seseorang hendaknya berobat ketika jatuh sakit dan hal ini tidaklah bertentangan dengan tawakkal selama orang tersebut tetap bergantung kepada Allah Ta’ala, Dzat Yang menyembuhkan segala macam penyakit. Sebagaimana doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjenguk sahabatnya yang sedang sakit,

اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ البَاسَ، اشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِي، لاَ شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا

“Ya Allah, Tuhan seluruh manusia, hilangkanlah penyakit ini dan sembuhkanlah. Engkaulah Asy-Syaafi (Dzat Yang menyembuhkan). Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak menyisakan penyakit.” (HR. Bukhari no. 5675 dan Muslim no. 2191)

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, ”Jika terbukti bahwa berobat itu hukumnnya mubah berdasarkan ijma’, atau sunnah menurut pendapat sebagian ulama, maka kita tidak perlu memperhatikan pendapat sekelompok orang yang mengatakan bahwa berobat itu bertentangan dengan tawakkal. Karena terdapat ijma’ bahwa berobat itu tidaklah bertentangan dengan tawakkal. Dan terdapat hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berobat dan memerintahkan untuk berobat. Berobatnya beliau dan perintah beliau (kepada orang lain, pen.) untuk berobat tersebut menunjukkan bahwa berobat tidaklah bertentangan dengan tawakkal.”(Talbiis Ibliis, hal. 287-288) [3]

Baca Juga: Benarkah Air Hujan Bisa Digunakan untuk Berobat?

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata setelah menyebutkan hadits-hadits yang memerintahkan untuk berobat,

وَفِي الْأَحَادِيثِ الصّحِيحَةِ الْأَمْرُ بِالتّدَاوِي وَأَنّهُ لَا يُنَافِي التّوَكّلَ كَمَا لَا يُنَافِيهِ دَفْعُ دَاءِ الْجَوْعِ وَالْعَطَشِ وَالْحَرّ وَالْبَرْدِ بِأَضْدَادِهَا بَلْ لَا تَتِمّ حَقِيقَةُ التّوْحِيدِ إلّا بِمُبَاشَرَةِ الْأَسْبَابِ الّتِي نَصَبَهَا اللّهُ مُقْتَضَيَاتٍ لِمُسَبّبَاتِهَا قَدَرًا وَشَرْعًا

“Dalam hadits-hadits shahih di atas terdapat perintah untuk berobat. Berobat tidak bertentangan dengan tawakkal, sebagaimana menghilangkan rasa haus, lapar, panas, atau dingin dengan lawannya juga tidak bertentangan dengan tawakkal. Bahkan, hakikat tauhid tidaklah sempurna kecuali dengan melakukan sebab-sebab yang telah Allah Ta’ala tetapkan bisa mewujudkan musabbab menurut syariat dan realita.“ (Zaadul Ma’aad, 4: 14) [4]

Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafidzahullah berkata, ”Berobat, baik yang hukumnya mubah, sunnah, atau wajib, tidaklah bertentangan dengan tawakkal. Karena sebagian orang-orang yang bodoh mengatakan, ’Jangan berobat, dalam rangka bertawakkal kepada Allah!’ Maka kita katakan, mengambil sebab (baca: berusaha) tidaklah menafikan tawakkal. Sedangkan berobat merupakan salah satu bentuk sebab. Mengambil sebab juga telah diperintahkan oleh Allah Ta’ala.” (I’aanatul Mustafiid, 1: 83)

Baca Juga:

[Selesai]

***

@Rumah Lendah, 26 Rajab 1440/2 April 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim


Artikel asli: https://muslim.or.id/46144-hukum-berobat-dalam-tinjauan-syariat-bag-2.html